Banten, -- Proses seleksi Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT) Pratama Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi Banten kembali menunjukkan wajah diduga kelam birokrasi yang gagal menjunjung prinsip meritokrasi. Alih-alih menjadi forum penjaringan kompetensi unggul, seleksi ini berubah menjadi arena penuh kepentingan yang dibungkus formalitas belaka. Panitia seleksi (Pansel) tampak tidak sekadar lalai, tetapi secara sistemik mengabaikan prinsip-prinsip fundamental tata kelola pemerintahan yang baik.
Prinsip merit system yang seharusnya menjadi pondasi pengisian jabatan tinggi di lingkungan ASN, telah direduksi secara brutal menjadi sekadar asesmen esai dan wawancara dangkal. Padahal, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN dengan tegas menyatakan bahwa pengisian JPT harus berbasis kompetensi, kualifikasi, dan integritas yang terukur secara objektif. Sayangnya, pelaksanaan di Banten justru mencerminkan praktik yang jauh dari regulasi ini.
Pansel seharusnya menjadi penjamin keadilan dan transparansi dalam seleksi pejabat tinggi. Namun, dalam konteks ini, Pansel justru berperan sebagai aktor utama dalam mengaburkan proses. Ketiadaan asesmen menyeluruh terhadap aspek teknis, manajerial, dan sosial-kultural para kandidat memperlihatkan betapa tidak profesional dan tidak legitimate-nya tahapan seleksi yang digelar. Lebih miris, publik tidak diberikan akses terhadap indikator penilaian dan hasil akhir seleksi secara terbuka.
Fenomena ini menandakan matinya sistem akuntabilitas dalam birokrasi. Dalam sistem merit yang sehat, setiap kandidat dinilai secara terukur berdasarkan kompetensinya, bukan berdasarkan kedekatan politik, loyalitas pribadi, atau pesanan kekuasaan. Ketika hasil seleksi mencoret kandidat unggulan tanpa penjelasan, itu adalah bentuk pengkhianatan terhadap publik yang menginginkan birokrasi bersih, efektif, dan berpihak pada kepentingan rakyat.
Pansel seharusnya sadar bahwa mereka bukan perpanjangan tangan kekuasaan politik, melainkan lembaga independen yang bertanggung jawab menjamin integritas proses seleksi. Ketika integritas ini ditukar dengan kompromi dan pengondisian, maka hancurlah kredibilitas institusi ASN yang selama ini tengah diperjuangkan melalui reformasi birokrasi. Dan ironisnya, semua itu terjadi di ruang publik yang terus menuntut perubahan.
Penghapusan kandidat potensial yang memiliki rekam jejak kuat dan hasil asesmen unggul, tanpa dasar atau klarifikasi terbuka, merupakan bentuk pemufakatan terselubung yang tidak dapat dibenarkan dari sisi hukum, etika, maupun prinsip administrasi publik. Hal ini berpotensi menimbulkan distrust masyarakat terhadap lembaga negara, khususnya terhadap lembaga kepegawaian.
Pansel juga melanggar asas keterbukaan informasi publik sebagaimana diatur dalam UU No. 14 Tahun 2008. Informasi tentang proses penilaian, bobot asesmen, dan argumentasi seleksi tiga besar adalah informasi publik yang wajib diumumkan. Menutup informasi ini sama artinya dengan menyembunyikan potensi kecurangan. Bila tidak ada yang ditutupi, mengapa masyarakat tidak diberikan akses terhadap proses penilaian secara rinci?
Kasus seleksi Sekda Banten ini bukan semata masalah prosedural, tetapi masalah etik dan moral pemerintahan. Pemerintahan yang baik tidak dibangun dari pejabat yang naik melalui jalur manipulatif. Bila Pansel terus membiarkan rekayasa ini terjadi, maka bukan hanya kualitas birokrasi yang terancam, melainkan juga legitimasi sosial dari setiap kebijakan yang lahir dari pejabat hasil seleksi cacat.
Sebagai akademisi, saya mendesak Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), Ombudsman, dan Komisi Informasi untuk segera turun tangan melakukan audit proses seleksi ini. Bila terbukti terjadi penyimpangan prinsip merit, maka langkah administratif hingga pembatalan hasil seleksi harus segera ditempuh. Pembersihan birokrasi harus dimulai dari proses seleksi pejabat, bukan dari pembiaran terhadap praktik culas.
Ini bukan sekadar kritik terhadap Pansel, tetapi peringatan serius bagi kita semua: bahwa demokrasi birokrasi hanya bisa hidup jika keadilan dan transparansi dijaga sejak dari hulunya. Jika proses seleksi jabatan tinggi terus dikotori dengan kepentingan, maka kita tidak sedang membangun pemerintahan, melainkan sedang mewariskan kegagalan sistemik kepada generasi berikutnya.
Narasumber: Malik Fathoni, S.H., M.Si – Akademisi dan Pemerhati Tata Kelola Pemerintahan
Reporter: Distributor Rilis